Masa lalu di buat bukan untuk masa lampau itu sendiri, melainkan di buat untuk masa yang akan datang. Khrouchtchev mengaku bahwa sejarawan “satu kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa”. Dengan cara mengumpulkan dokumen dapat membuka mata sejarah. Bahkan, bisa merekontruksi keadaan sosial dan politik pada masa lalu.[1]
Membaca buku Virdika Rizky Utama (Virdika)
Menjerat Gus Dur membuat saya paham dengan sejarah di balik pelengseran presiden
ke 4 tersebut. Lika-liku penjeratan Gus Dur ternyata tidak mudah. Dari berbagai
kalangan satu padu menyatukan kerjasama untuk melengserkan cucu dari pendiri NU
tersebut. Hal itu bisa di lihat begitu rumitnya persengkongkolan antara para
elit politik, mahasiswa, organisasi masyarakat, media berupa koran dan TV.
Abdur Rahman Wahid (Gus
Dur) dilengserkan karena di anggap membelot oleh para elit politik. Gus Dur
tidak mau berkompromi dengan mereka, terutama orang-orang yang di sebut di
dalam bukunya Virdika. Pembelotan inilah yang menjadi momok bagi Gus dur dalam
memimpin negara ini. Akhirnya terjadi sebuah peristiwa sejarah yang penting
dalam kurun tahun 1999-2001.
Ketika menonton vidio dan
ulasan Virdika di You Tube. Ada beberapa yang saya ingat, virdika selalu
menjelaskan, biasanya sejarah di tulis dan dinarasikan oleh para pemenang.
Namun dalam bukunya ini, sejarah dan penarasiannya bebalik 180 derajat. Virdika
menuliskan sejarah bagi yang kalah.
Namun, dalam buku menjerat Gus Dur di halaman 306
Gus dur tidak mengalah dengan lapang dada, tapi beliau juga melawan, dengan
mengeluarkan gertakan berupa maklumat. Menanggapi ini Virdika menguraikan, Gus
Dur sudah jelas kalah. Maka dari itu Gus Dur lebih baik melawan sekuat-kuatnya,
sebaik-baiknya dan sehormat-sehormatnya.[2]
Ketika selesai membaca dan
saya hayati lebih mendalam, saya menemukan beberapa intisari penulis dalam
menarasikan buku menjerat Gus Dur. Pertama, penulis memfokuskan pada beberapa
kasus yang dikenai oleh Gus Dur. Dimulai dari pemecatan Jusuf Kalla dan
Laksamana Sukardi.
Kedua, penulis lebih merincikan bagaimana penggulingan
kasus Bruneigate dan Bulogate. Di sini tertampak jelas pada bab
5, oleh penulis diberikan subab sendiri. Buloggate dan Bruneigate
ini memang begitu penting di jelaskan. Karena Gus dur menerima dana hibah dari
sultan Brunei dan dana Bulog untuk mensejahterakan masyarakat di Aceh, bukan
untuk hal lain, apalagi seperti yang dituduhkan yaitu pengkorupsian.
Dana Bulogate sendiri Gus Dur memahami,
dana ini adalah dana taktis yang boleh digunakan jika ada permasalahan oleh
negara, seperti yang dilakukan Soeharto dan Habibi. Sedangakn dana hibah dari Bruneigate
sendiri sebenarnya tidak boleh disebarluaskan, mengingat itu hibah dan
keharusan Gus Dur memagang amanah merahasiakan hal tersebut.
Virdika menjelaskan, bahwasannya Gus Dur tidak
melakukan penyelewengan dan tidak ada bukti terkait kasus ini hingga saat ini.
Hal ini di perkuat oleh ulasan Tempo yang diterbitkan tanggal 19 November 2003
dalam judul kasus bruneigate dan buloggate bisa di buka lagi.[3]
Ketiga,
pelengseran Gus Dur diadili tidak secara hukum, melainkan secara politis. Hal
ini menjadi perdebatan panjang, dilalui oleh MPR/DPR (legislatif) dan juga presiden (eksekutif). Karena sebagian
yang berniat mengakhiri Gus Dur dari singgasana kepresidenan adalah elit
politik di MPR/DPR. Akhirnya Gus Dur juga menanyakan, sebenarnya demokrasi yang
ada di Indonesia sendiri itu bersistem presidensial atau parlementer.
Gus Dur sendiri menjalankan amanat reformasi
tahun 1998. Amanat reformasi salah satunya pemberantasan korupsi sampai
akar-akarnya. Gus Dur sudah mengusahakan pemberantasan korupsi. Bahkan Gus Dur
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK).[4] Upaya
inilah yang belum tertulis di dalam buku Menjerat Gus Dur.
Karena hal ini penting dijelaskan dalam buku
Virdika, walupun hanya secuil di dalam cerita bukunya. Agar terlihat jelas
usaha Gus Dur melawan dan menjalankan amanat dari reformasi untuk memberantas
korupsi. Sedangkan KPK sendiri belum di bentuk pada era Gus Dur. Sehingga
pembaca (apalagi millenial) ikut mempertanyakan, dimana peran Gus Dur membasmi
korupsi.
Membaca buku Virdika, saya mulai mempertanyakan
yang sekiranya belum terjelaskan dari buku menjerat Gus Dur. Menjadikan saya
penasaran, bagaimana cara elit politik mendapatkan dana begitu besar untuk
melengserkan Gus dur? Dari mana penunjang dana tersebut? Apakah dana-dana itu
murni dari para pengusaha? Atau dari pihak lain? Apalagi Virdika juga menerangkan
para elit politik membeli dollar untuk kasus penurunan ekonomi di era Gus Dur,
Dari mana pembelian-pembelian semua itu berasal?
Mungkin pertanyaan ini terlalu membumbui dalam
kepala, saya rasa perlu adanya studi lanjutan atau penelitian untuk menjelaskan
hal ini. Kiranya menjadi menarik jika ada buku tandingan untuk menambah
perspektif baru mengenai Gus Dur itu sendiri. Terutama di kala Gus Dur menjabat
Presiden, dari pada buku guyonan ala Gus Dur yang sudah menyebar di seantero
Indonesia. Begitu pesan dari Epilog yang di tulis Wahyu Muyardi di buku
Menjerat Gus Dur.
[1] Asvi Warman Adam. Melawan
Lupa, Menepis Stigma setelah prahara 1965. (Jakarta; Kompas, 2015). Hal. 3
[2] Begitulah kata Pramoedya Ananta Toer di buku Bumi Manusi, Lentera Dipantara, hal. 535
[3] https://nasional.tempo.co/read/29691/kasus-bruneigate-dan-buloggate-bisa-dibuka-lagi di akses tanggal 25-02-2020
[4] https://historia.id/politik/articles/jatuh-bangun-lembaga-pemberantasan-korupsi-PGjgB di akses pada tanggal 25-02-2019