Majalah
dari lembaga pers mahasiswa (LPM) Dedikasi, yang kebetulan bertema “membaca
budaya literasi hari ini”. Menurut saya majalah ini sangat tepat, dikala masih
kurangnya buku-buku atau literatur yang
membahas apa itu leterasi. Terlepas dari itu, majalah ini juga dapat dijadikan
sebuah refarensi bagi saya atau teman-teman yang mendiskusiakan literasi.
Kebetulan
juga besok (24/07/2018) di daku sebagai pemantik diskusi mengenai literasi.
Saya pun langsung berpandangan pada majalah LPM Dedikasi untuk mencari
bahan-bahannya. Selain itu sehari sebelumnya, saya mencoba menyebarkan status
di Whatshap (W.A), bertuliskan “apa itu literasi?” dari beberapa kontak saya di
W.A sebanyak 5 orang yang telah menjawabnya.
Dari
5 orang tersebut, 2 orang menjawab literasi itu melek baca dan tulis. Ada juga
yang menjelaskan, literasi adalah bagian dari pemahaman menganai hal-hal visual
(gambar dan vidio). Ada juga yang memahami literasi itu menarik kesimpulan
pemahaman dari sebuah bacaan. lalu diaplikasikannya sesuai masalah keseharian manusia.
Namun, ada teman kontak saya yang nyeleneh.
Baginya literasi itu membingungkan. Kita bisa memahami banyak teori dari sebuah
bacaan. Tapi kita juga di jauhkan dari sebuah pengalaman hidup yang nyata.
Baginya tidak ada sinkronisasi antara teori dan realita.
Itu
tadi adalah sebuah penelitian kecil yang saya lakukan melalui media W.A.
terlepas dari itu semua, saya juga mencari jawaban tentang “apa itu literasi?”
melalui majalah dari LPM Dedikasi. Pada halaman 6 dijelaskan literasi ialah
suatu keadaan menambah wawasan, kemampuan dan keterampilan sehingga kita dapat
brpikir kritis, memecahkan masalah secara konteknya, berbicara secara efektif
dan mampu mengembangkan potensi di ranah sosial. Sedangkan National Institute For Literacy memaknai literasi lebih dinamis,
yaitu mendefiniskan literasi tergantung sesuai keterampilan dan kebutuhan dalam
lingkungan tertentu.
Literasi
sendiri sebenarnya bukan budaya Indonesia. Sehingga menanamkan budaya literasi
perlu kerja keras. Kontelasi literasi sendiri hadir dari belahan negara-negara
yang dianggap Barat dan merupkan dampak era modern ala Barat (Ben Egger, 2009).
Indonesia sendiri terpengaruh dari peradaban yang dianggap Barat tersebut.
Baginya orang-orang yang menekuni literasi lebih unggul dari yang tidak, ini
begitu mengena di Indonesia. Karena sebelumnya Indonesia sendiri lebih memilih
budaya lisan atau tutur untuk memahami
keterampilan dan wawasan suatu pengetahuan, bukan kegiatan baca dan tulis.
Namun saya lebih senang literasi mengkombinasikan ketiga hal tersebut. Yaitu,
membaca, menulis dan lisan (diskusi).
Terlepas
dari perdebatan di atas, tulisan ini lebih terfokus apa itu literasi? literasi
sendiri menurut saya ialah suatu keadaan menambah ilmu pengetahuan untuk
bertindak kritis. Semua ini dilatarbelakangi jika seseorang tersebut membaca,
menulis dan berdiskusi dalam kehidupannya. Sehingga kemampuan ini saling
mempunyai benang merah. Meskipun ketiga hal ini juga berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Mari kita bahas satu persatu.
Membaca.
Nabi
Muhammad menerima wahyu pertama kali yaitu Iqro’
yang diartikan membaca. Dewasa ini, arti membaca semakin berkembang. Ada
salah satu profesor, Iqro tidak
diartikan kegiatan membaca, melainkan meng-kritisi dan atau meneliti. Perintah
membaca ini menjadi legitimasi bagi umatnya, bahwasannya membaca itu penting.
Maka dari itu gerakan membaca diberbagai kalangan sekarang begitu masif
digerakan entah itu anak, remaja, dewasa dan lansia.
Prosesi
membaca ini membantu kita menambah cakrawala kehidupan, pengetahuan dan
segalanya. Sebab semua akan ada jika kita mau membaca. Membaca juga menjadi
alternatif menumbuhkan rasa empati di dalam diri kita. Menjadikan kita memahami
pola logika yang bermain di setiap tulisan. Serta menjadikan terolahnya
kata-kata ketika kita berbicara.
Buku
sebagai sumber utama membaca berasal bukan dari kertas seperti saat ini. Dahulu
kala buku tertulis di batu (prasasti), daun atau kulit domba yang begitu keras.
Setelah kemajuan zaman kertas telah ditemukan oleh Cai Lun berasal dari Cina pada tahun 105 M. Saat
itulah tulisan tercipta dalam bentuk buku sampai saat ini.
Seiring
zaman semakin maju, penemuan mesin cetak oleh Johanes Guttenberg pada tahun
1450 membawa dampak penyebaran buku semakin banyak dan marak. Abad 15 di Barat eklusivitas
ilmu pengetahuan masih dimiliki oleh otoritas elit, kalangan agamawan dan para penguasa.
Sejak terciptanya mesin cetak ini eklusivitas tersebut telah roboh. Sejak saat
itu ilmu pengetahuan semakin banyak dikonsumsi dari berbagai macam kalangan.
Malah
saat ini buku sudah beredar secara Elektronik (E-Book). Meskipun kemunculan
E-Book memudahkan kita untuk membaca diberbagai tempat tanpa harus membawa buku
nyata yang terlihat berat. Di sini tetaplah tergantung para pembaca. Kata Dee
Lestari kita tidak bisa serta merta menghakimi seseorang, karena setiap orang
begitu unik. Ada sebagian yang suka secara E-Book dan ada juga lebih senang
buku real.
Terlepas
dari pemilihan E-Book atau buku secara real. Di sini bagi saya membaca tetaplah
penting dalam khazanah pijakan awal literasi. Dengan membaca kita bisa memahami
berbagai macam sudut pandang dari argumen penulis. Selain itu, bisa juga kita
mengkritisi teori satu menggunakan analisa dari hasil bacaan kita. Sehingga
kita dapat menuliskan argumen yang kita tempukan mejadi satu dan
mendiskusikannya di depan publik secara runtut.
Menulis
Menulis
adalah kegiatan penting. Sejak awal kita sekolah pasti akan diajari oleh guru
kita tentang simbol-simbol. Simbol ini seperti huruf dan angka. Huruf dan angka
adalah modal kita bisa merangkai tulisan. Entah ini nanti dalam bentuk artikel,
opini, sastra dan lain-lain. Menulis juga dapat menjadikan rekam jejak
kehidupan manusia dan berkomunikasi.
Maka
dari itu menjadi penulis itu berat. Sebab butuh telaah dari bacaan begitu
banyak. Selain itu kita juga harus dituntut untuk berargumen secara runtut,
menggunakan logika yang tepat, bekreasi dengan penuh inovatif, bertindak kritis
dan memunculkan hal baru dalam tulisan kita. Tapi bisa saja menulis itu mudah,
Jika kita masih berlatih. Karena latihan dalam menulis tidak usah memperkarakan
sesuatu yang berat. Namun Lambat laun kita akan menyadarinya sendiri bahwa
menulis itu berat.
Menjadi
seorang penulis juga harus konsisten dan ajeg. Konsisten dan ajeg ini kita bisa
meluangkan waktu untuk terus melatih atau mengasah kemampuan kita dalam
menulis. Disinilah yang menjadikan seseorang kuwalahan, sebab terkadang kita
masih terkungkung dengan rutinitas sehari-hari.
Lisan
(berdiskusi)
Lisan
saya artikan sebagai diskusi. Karena menurut saya untuk mengencangkan sebuah
ilmu pengetahuan yang kita serap melalui sebuah bacaan, hanya berada di
diskusi. Entah nanti diskusi ini bisa dimaknai ngobrol bareng di warung kopi,
atau diskusi secara formal ada pemantik, pendengar dan moderator.
Berdiskusi
di sini kita bisa menumpukan dari berbagai macam bacaan antar orang satu dengan
orang lain. Dengan begitu kita bisa mengukur batas kemampuan diri kita. Bisa
mengukur bacaan kita. Serta dapat memahami perspektif orang lain.
Berdiskusi
dapat mengetahui isi dari ekpresi kita ketika menyampaikan sebuah argumen.
Bukan hanya kita, melainkan semua yang kita hadapi. Seperti ekpresi lawan
bicara kita. Dengan begitu kita dapat mengetahui otoritas keseriusan dalam
berargumen.
Keterhubungan
ketiga hal ini Anderson (1972) menjelaskan berbicara (diskusi) dan menulis
merupakan proses penyandian. Sedangkan membaca adalah suatu proses pembacaan
sandi. Yaitu menghubungkan suatu makna antar kalimat yang tertulis dengan makna
dalam bahasa lisan (berdiskusi). Maka dari itu membaca begitu penting karena
berhubungan erat dengan menambah informasi. Menulis dan lisan (berdiskusi) ini
berhubungan erat dalam memahami ekpresi, mengutarakan makna, membentuk opini
dan mengemukakan pendapat. Namun, siapa
kira manusia dapat berargumen secara lisan (diskusi) dan menulis jika tidak
dibarengi dengan banyak membaca?
Adanya
ketiga hal ini menjadikan literasi itu bermakna. Literasi akan menjadi maju
ketika semua dapat terkombinasikan secara runtut. Maka dari itu menanamkan
pemahaman literasi pada generasi emas saat ini begitu penting. menanamkan
literasi pada zaman “Now", menjawab tantangan berliterasi pada waktu saat
ini juga. Apalagi sekarang ini dihadapkan dengan gawai yang semakin hari
semakin canggih dan media penyebar “hoax”. Inilah tantangan saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar