Rabu, Oktober 14

Buku Menjerat Gus Dur: membuka mata sejarah.

            Masa lalu di buat bukan untuk masa lampau itu sendiri, melainkan di buat untuk masa yang akan datang. Khrouchtchev mengaku bahwa sejarawan “satu kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa”. Dengan cara mengumpulkan dokumen dapat membuka mata sejarah. Bahkan, bisa  merekontruksi keadaan sosial dan politik pada masa lalu.[1]

Membaca buku Virdika Rizky Utama (Virdika) Menjerat Gus Dur membuat saya paham dengan sejarah di balik pelengseran presiden ke 4 tersebut. Lika-liku penjeratan Gus Dur ternyata tidak mudah. Dari berbagai kalangan satu padu menyatukan kerjasama untuk melengserkan cucu dari pendiri NU tersebut. Hal itu bisa di lihat begitu rumitnya persengkongkolan antara para elit politik, mahasiswa, organisasi masyarakat, media berupa koran dan TV.

            Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan karena di anggap membelot oleh para elit politik. Gus Dur tidak mau berkompromi dengan mereka, terutama orang-orang yang di sebut di dalam bukunya Virdika. Pembelotan inilah yang menjadi momok bagi Gus dur dalam memimpin negara ini. Akhirnya terjadi sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam kurun tahun 1999-2001.

            Ketika menonton vidio dan ulasan Virdika di You Tube. Ada beberapa yang saya ingat, virdika selalu menjelaskan, biasanya sejarah di tulis dan dinarasikan oleh para pemenang. Namun dalam bukunya ini, sejarah dan penarasiannya bebalik 180 derajat. Virdika menuliskan sejarah bagi yang kalah.

Namun, dalam buku menjerat Gus Dur di halaman 306 Gus dur tidak mengalah dengan lapang dada, tapi beliau juga melawan, dengan mengeluarkan gertakan berupa maklumat. Menanggapi ini Virdika menguraikan, Gus Dur sudah jelas kalah. Maka dari itu Gus Dur lebih baik melawan sekuat-kuatnya, sebaik-baiknya dan sehormat-sehormatnya.[2]

            Ketika selesai membaca dan saya hayati lebih mendalam, saya menemukan beberapa intisari penulis dalam menarasikan buku menjerat Gus Dur. Pertama, penulis memfokuskan pada beberapa kasus yang dikenai oleh Gus Dur. Dimulai dari pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi.

Kedua, penulis lebih merincikan bagaimana penggulingan kasus Bruneigate dan Bulogate. Di sini tertampak jelas pada bab 5, oleh penulis diberikan subab sendiri. Buloggate dan Bruneigate ini memang begitu penting di jelaskan. Karena Gus dur menerima dana hibah dari sultan Brunei dan dana Bulog untuk mensejahterakan masyarakat di Aceh, bukan untuk hal lain, apalagi seperti yang dituduhkan yaitu pengkorupsian.

Dana Bulogate sendiri Gus Dur memahami, dana ini adalah dana taktis yang boleh digunakan jika ada permasalahan oleh negara, seperti yang dilakukan Soeharto dan Habibi. Sedangakn dana hibah dari Bruneigate sendiri sebenarnya tidak boleh disebarluaskan, mengingat itu hibah dan keharusan Gus Dur memagang amanah merahasiakan hal tersebut.

Virdika menjelaskan, bahwasannya Gus Dur tidak melakukan penyelewengan dan tidak ada bukti terkait kasus ini hingga saat ini. Hal ini di perkuat oleh ulasan Tempo yang diterbitkan tanggal 19 November 2003 dalam judul kasus bruneigate dan buloggate bisa di buka lagi.[3]

 Ketiga, pelengseran Gus Dur diadili tidak secara hukum, melainkan secara politis. Hal ini menjadi perdebatan panjang, dilalui oleh MPR/DPR (legislatif)  dan juga presiden (eksekutif). Karena sebagian yang berniat mengakhiri Gus Dur dari singgasana kepresidenan adalah elit politik di MPR/DPR. Akhirnya Gus Dur juga menanyakan, sebenarnya demokrasi yang ada di Indonesia sendiri itu bersistem presidensial atau parlementer.

Gus Dur sendiri menjalankan amanat reformasi tahun 1998. Amanat reformasi salah satunya pemberantasan korupsi sampai akar-akarnya. Gus Dur sudah mengusahakan pemberantasan korupsi. Bahkan Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK).[4] Upaya inilah yang belum tertulis di dalam buku Menjerat Gus Dur.

Karena hal ini penting dijelaskan dalam buku Virdika, walupun hanya secuil di dalam cerita bukunya. Agar terlihat jelas usaha Gus Dur melawan dan menjalankan amanat dari reformasi untuk memberantas korupsi. Sedangkan KPK sendiri belum di bentuk pada era Gus Dur. Sehingga pembaca (apalagi millenial) ikut mempertanyakan, dimana peran Gus Dur membasmi korupsi.

Membaca buku Virdika, saya mulai mempertanyakan yang sekiranya belum terjelaskan dari buku menjerat Gus Dur. Menjadikan saya penasaran, bagaimana cara elit politik mendapatkan dana begitu besar untuk melengserkan Gus dur? Dari mana penunjang dana tersebut? Apakah dana-dana itu murni dari para pengusaha? Atau dari pihak lain? Apalagi Virdika juga menerangkan para elit politik membeli dollar untuk kasus penurunan ekonomi di era Gus Dur, Dari mana pembelian-pembelian semua itu berasal?

Mungkin pertanyaan ini terlalu membumbui dalam kepala, saya rasa perlu adanya studi lanjutan atau penelitian untuk menjelaskan hal ini. Kiranya menjadi menarik jika ada buku tandingan untuk menambah perspektif baru mengenai Gus Dur itu sendiri. Terutama di kala Gus Dur menjabat Presiden, dari pada buku guyonan ala Gus Dur yang sudah menyebar di seantero Indonesia. Begitu pesan dari Epilog yang di tulis Wahyu Muyardi di buku Menjerat Gus Dur.



[1] Asvi Warman Adam. Melawan Lupa, Menepis Stigma setelah prahara 1965. (Jakarta; Kompas, 2015). Hal. 3

Share:

2 komentar:

  1. Tulisan yang berbobot mas, otak melatiku enggak sampai

    BalasHapus
  2. iya kak terimakasih komentarnya dan masukannya. ayo semangat belajar lagi. :)

    BalasHapus