Jumat, Oktober 5

Menjawab tantangan Literasi


Majalah dari lembaga pers mahasiswa (LPM) Dedikasi, yang kebetulan bertema “membaca budaya literasi hari ini”. Menurut saya majalah ini sangat tepat, dikala masih kurangnya buku-buku atau literatur  yang membahas apa itu leterasi. Terlepas dari itu, majalah ini juga dapat dijadikan sebuah refarensi bagi saya atau teman-teman yang mendiskusiakan literasi.
Kebetulan juga besok (24/07/2018) di daku sebagai pemantik diskusi mengenai literasi. Saya pun langsung berpandangan pada majalah LPM Dedikasi untuk mencari bahan-bahannya. Selain itu sehari sebelumnya, saya mencoba menyebarkan status di Whatshap (W.A), bertuliskan “apa itu literasi?” dari beberapa kontak saya di W.A sebanyak 5 orang yang telah menjawabnya.
Dari 5 orang tersebut, 2 orang menjawab literasi itu melek baca dan tulis. Ada juga yang menjelaskan, literasi adalah bagian dari pemahaman menganai hal-hal visual (gambar dan vidio). Ada juga yang memahami literasi itu menarik kesimpulan pemahaman dari sebuah bacaan. lalu diaplikasikannya sesuai masalah keseharian manusia. Namun, ada teman kontak saya yang nyeleneh. Baginya literasi itu membingungkan. Kita bisa memahami banyak teori dari sebuah bacaan. Tapi kita juga di jauhkan dari sebuah pengalaman hidup yang nyata. Baginya tidak ada sinkronisasi antara teori dan realita.
Itu tadi adalah sebuah penelitian kecil yang saya lakukan melalui media W.A. terlepas dari itu semua, saya juga mencari jawaban tentang “apa itu literasi?” melalui majalah dari LPM Dedikasi. Pada halaman 6 dijelaskan literasi ialah suatu keadaan menambah wawasan, kemampuan dan keterampilan sehingga kita dapat brpikir kritis, memecahkan masalah secara konteknya, berbicara secara efektif dan mampu mengembangkan potensi di ranah sosial. Sedangkan National Institute For Literacy memaknai literasi lebih dinamis, yaitu mendefiniskan literasi tergantung sesuai keterampilan dan kebutuhan dalam lingkungan tertentu.
Literasi sendiri sebenarnya bukan budaya Indonesia. Sehingga menanamkan budaya literasi perlu kerja keras. Kontelasi literasi sendiri hadir dari belahan negara-negara yang dianggap Barat dan merupkan dampak era modern ala Barat (Ben Egger, 2009). Indonesia sendiri terpengaruh dari peradaban yang dianggap Barat tersebut. Baginya orang-orang yang menekuni literasi lebih unggul dari yang tidak, ini begitu mengena di Indonesia. Karena sebelumnya Indonesia sendiri lebih memilih budaya lisan  atau tutur untuk memahami keterampilan dan wawasan suatu pengetahuan, bukan kegiatan baca dan tulis. Namun saya lebih senang literasi mengkombinasikan ketiga hal tersebut. Yaitu, membaca, menulis dan lisan (diskusi).
Terlepas dari perdebatan di atas, tulisan ini lebih terfokus apa itu literasi? literasi sendiri menurut saya ialah suatu keadaan menambah ilmu pengetahuan untuk bertindak kritis. Semua ini dilatarbelakangi jika seseorang tersebut membaca, menulis dan berdiskusi dalam kehidupannya. Sehingga kemampuan ini saling mempunyai benang merah. Meskipun ketiga hal ini juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mari kita bahas satu persatu.
Membaca.
Nabi Muhammad menerima wahyu pertama kali yaitu Iqro’ yang diartikan membaca. Dewasa ini, arti membaca semakin berkembang. Ada salah satu profesor, Iqro tidak diartikan kegiatan membaca, melainkan meng-kritisi dan atau meneliti. Perintah membaca ini menjadi legitimasi bagi umatnya, bahwasannya membaca itu penting. Maka dari itu gerakan membaca diberbagai kalangan sekarang begitu masif digerakan entah itu anak, remaja, dewasa dan lansia.
Prosesi membaca ini membantu kita menambah cakrawala kehidupan, pengetahuan dan segalanya. Sebab semua akan ada jika kita mau membaca. Membaca juga menjadi alternatif menumbuhkan rasa empati di dalam diri kita. Menjadikan kita memahami pola logika yang bermain di setiap tulisan. Serta menjadikan terolahnya kata-kata ketika kita berbicara.
Buku sebagai sumber utama membaca berasal bukan dari kertas seperti saat ini. Dahulu kala buku tertulis di batu (prasasti), daun atau kulit domba yang begitu keras. Setelah kemajuan zaman kertas telah ditemukan oleh Cai Lun berasal dari Cina pada tahun 105 M. Saat itulah tulisan tercipta dalam bentuk buku sampai saat ini.
Seiring zaman semakin maju, penemuan mesin cetak oleh Johanes Guttenberg pada tahun 1450 membawa dampak penyebaran buku semakin banyak dan marak. Abad 15 di Barat eklusivitas ilmu pengetahuan masih dimiliki oleh otoritas elit, kalangan agamawan dan para penguasa. Sejak terciptanya mesin cetak ini eklusivitas tersebut telah roboh. Sejak saat itu ilmu pengetahuan semakin banyak dikonsumsi dari berbagai macam kalangan.
Malah saat ini buku sudah beredar secara Elektronik (E-Book). Meskipun kemunculan E-Book memudahkan kita untuk membaca diberbagai tempat tanpa harus membawa buku nyata yang terlihat berat. Di sini tetaplah tergantung para pembaca. Kata Dee Lestari kita tidak bisa serta merta menghakimi seseorang, karena setiap orang begitu unik. Ada sebagian yang suka secara E-Book dan ada juga lebih senang buku real.
Terlepas dari pemilihan E-Book atau buku secara real. Di sini bagi saya membaca tetaplah penting dalam khazanah pijakan awal literasi. Dengan membaca kita bisa memahami berbagai macam sudut pandang dari argumen penulis. Selain itu, bisa juga kita mengkritisi teori satu menggunakan analisa dari hasil bacaan kita. Sehingga kita dapat menuliskan argumen yang kita tempukan mejadi satu dan mendiskusikannya di depan publik secara runtut.
Menulis
Menulis adalah kegiatan penting. Sejak awal kita sekolah pasti akan diajari oleh guru kita tentang simbol-simbol. Simbol ini seperti huruf dan angka. Huruf dan angka adalah modal kita bisa merangkai tulisan. Entah ini nanti dalam bentuk artikel, opini, sastra dan lain-lain. Menulis juga dapat menjadikan rekam jejak kehidupan manusia dan berkomunikasi.
Maka dari itu menjadi penulis itu berat. Sebab butuh telaah dari bacaan begitu banyak. Selain itu kita juga harus dituntut untuk berargumen secara runtut, menggunakan logika yang tepat, bekreasi dengan penuh inovatif, bertindak kritis dan memunculkan hal baru dalam tulisan kita. Tapi bisa saja menulis itu mudah, Jika kita masih berlatih. Karena latihan dalam menulis tidak usah memperkarakan sesuatu yang berat. Namun Lambat laun kita akan menyadarinya sendiri bahwa menulis itu berat.
Menjadi seorang penulis juga harus konsisten dan ajeg. Konsisten dan ajeg ini kita bisa meluangkan waktu untuk terus melatih atau mengasah kemampuan kita dalam menulis. Disinilah yang menjadikan seseorang kuwalahan, sebab terkadang kita masih terkungkung dengan rutinitas sehari-hari.
Lisan (berdiskusi)
Lisan saya artikan sebagai diskusi. Karena menurut saya untuk mengencangkan sebuah ilmu pengetahuan yang kita serap melalui sebuah bacaan, hanya berada di diskusi. Entah nanti diskusi ini bisa dimaknai ngobrol bareng di warung kopi, atau diskusi secara formal ada pemantik, pendengar dan moderator.
Berdiskusi di sini kita bisa menumpukan dari berbagai macam bacaan antar orang satu dengan orang lain. Dengan begitu kita bisa mengukur batas kemampuan diri kita. Bisa mengukur bacaan kita. Serta dapat memahami perspektif orang lain.
Berdiskusi dapat mengetahui isi dari ekpresi kita ketika menyampaikan sebuah argumen. Bukan hanya kita, melainkan semua yang kita hadapi. Seperti ekpresi lawan bicara kita. Dengan begitu kita dapat mengetahui otoritas keseriusan dalam berargumen.
Keterhubungan ketiga hal ini Anderson (1972) menjelaskan berbicara (diskusi) dan menulis merupakan proses penyandian. Sedangkan membaca adalah suatu proses pembacaan sandi. Yaitu menghubungkan suatu makna antar kalimat yang tertulis dengan makna dalam bahasa lisan (berdiskusi). Maka dari itu membaca begitu penting karena berhubungan erat dengan menambah informasi. Menulis dan lisan (berdiskusi) ini berhubungan erat dalam memahami ekpresi, mengutarakan makna, membentuk opini dan mengemukakan pendapat.  Namun, siapa kira manusia dapat berargumen secara lisan (diskusi) dan menulis jika tidak dibarengi dengan banyak membaca?
Adanya ketiga hal ini menjadikan literasi itu bermakna. Literasi akan menjadi maju ketika semua dapat terkombinasikan secara runtut. Maka dari itu menanamkan pemahaman literasi pada generasi emas saat ini begitu penting. menanamkan literasi pada zaman “Now", menjawab tantangan berliterasi pada waktu saat ini juga. Apalagi sekarang ini dihadapkan dengan gawai yang semakin hari semakin canggih dan media penyebar “hoax”. Inilah tantangan saat ini.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar