Rabu, Oktober 14

Buku Menjerat Gus Dur: membuka mata sejarah.

            Masa lalu di buat bukan untuk masa lampau itu sendiri, melainkan di buat untuk masa yang akan datang. Khrouchtchev mengaku bahwa sejarawan “satu kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa”. Dengan cara mengumpulkan dokumen dapat membuka mata sejarah. Bahkan, bisa  merekontruksi keadaan sosial dan politik pada masa lalu.[1]

Membaca buku Virdika Rizky Utama (Virdika) Menjerat Gus Dur membuat saya paham dengan sejarah di balik pelengseran presiden ke 4 tersebut. Lika-liku penjeratan Gus Dur ternyata tidak mudah. Dari berbagai kalangan satu padu menyatukan kerjasama untuk melengserkan cucu dari pendiri NU tersebut. Hal itu bisa di lihat begitu rumitnya persengkongkolan antara para elit politik, mahasiswa, organisasi masyarakat, media berupa koran dan TV.

            Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan karena di anggap membelot oleh para elit politik. Gus Dur tidak mau berkompromi dengan mereka, terutama orang-orang yang di sebut di dalam bukunya Virdika. Pembelotan inilah yang menjadi momok bagi Gus dur dalam memimpin negara ini. Akhirnya terjadi sebuah peristiwa sejarah yang penting dalam kurun tahun 1999-2001.

            Ketika menonton vidio dan ulasan Virdika di You Tube. Ada beberapa yang saya ingat, virdika selalu menjelaskan, biasanya sejarah di tulis dan dinarasikan oleh para pemenang. Namun dalam bukunya ini, sejarah dan penarasiannya bebalik 180 derajat. Virdika menuliskan sejarah bagi yang kalah.

Namun, dalam buku menjerat Gus Dur di halaman 306 Gus dur tidak mengalah dengan lapang dada, tapi beliau juga melawan, dengan mengeluarkan gertakan berupa maklumat. Menanggapi ini Virdika menguraikan, Gus Dur sudah jelas kalah. Maka dari itu Gus Dur lebih baik melawan sekuat-kuatnya, sebaik-baiknya dan sehormat-sehormatnya.[2]

            Ketika selesai membaca dan saya hayati lebih mendalam, saya menemukan beberapa intisari penulis dalam menarasikan buku menjerat Gus Dur. Pertama, penulis memfokuskan pada beberapa kasus yang dikenai oleh Gus Dur. Dimulai dari pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi.

Kedua, penulis lebih merincikan bagaimana penggulingan kasus Bruneigate dan Bulogate. Di sini tertampak jelas pada bab 5, oleh penulis diberikan subab sendiri. Buloggate dan Bruneigate ini memang begitu penting di jelaskan. Karena Gus dur menerima dana hibah dari sultan Brunei dan dana Bulog untuk mensejahterakan masyarakat di Aceh, bukan untuk hal lain, apalagi seperti yang dituduhkan yaitu pengkorupsian.

Dana Bulogate sendiri Gus Dur memahami, dana ini adalah dana taktis yang boleh digunakan jika ada permasalahan oleh negara, seperti yang dilakukan Soeharto dan Habibi. Sedangakn dana hibah dari Bruneigate sendiri sebenarnya tidak boleh disebarluaskan, mengingat itu hibah dan keharusan Gus Dur memagang amanah merahasiakan hal tersebut.

Virdika menjelaskan, bahwasannya Gus Dur tidak melakukan penyelewengan dan tidak ada bukti terkait kasus ini hingga saat ini. Hal ini di perkuat oleh ulasan Tempo yang diterbitkan tanggal 19 November 2003 dalam judul kasus bruneigate dan buloggate bisa di buka lagi.[3]

 Ketiga, pelengseran Gus Dur diadili tidak secara hukum, melainkan secara politis. Hal ini menjadi perdebatan panjang, dilalui oleh MPR/DPR (legislatif)  dan juga presiden (eksekutif). Karena sebagian yang berniat mengakhiri Gus Dur dari singgasana kepresidenan adalah elit politik di MPR/DPR. Akhirnya Gus Dur juga menanyakan, sebenarnya demokrasi yang ada di Indonesia sendiri itu bersistem presidensial atau parlementer.

Gus Dur sendiri menjalankan amanat reformasi tahun 1998. Amanat reformasi salah satunya pemberantasan korupsi sampai akar-akarnya. Gus Dur sudah mengusahakan pemberantasan korupsi. Bahkan Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK).[4] Upaya inilah yang belum tertulis di dalam buku Menjerat Gus Dur.

Karena hal ini penting dijelaskan dalam buku Virdika, walupun hanya secuil di dalam cerita bukunya. Agar terlihat jelas usaha Gus Dur melawan dan menjalankan amanat dari reformasi untuk memberantas korupsi. Sedangkan KPK sendiri belum di bentuk pada era Gus Dur. Sehingga pembaca (apalagi millenial) ikut mempertanyakan, dimana peran Gus Dur membasmi korupsi.

Membaca buku Virdika, saya mulai mempertanyakan yang sekiranya belum terjelaskan dari buku menjerat Gus Dur. Menjadikan saya penasaran, bagaimana cara elit politik mendapatkan dana begitu besar untuk melengserkan Gus dur? Dari mana penunjang dana tersebut? Apakah dana-dana itu murni dari para pengusaha? Atau dari pihak lain? Apalagi Virdika juga menerangkan para elit politik membeli dollar untuk kasus penurunan ekonomi di era Gus Dur, Dari mana pembelian-pembelian semua itu berasal?

Mungkin pertanyaan ini terlalu membumbui dalam kepala, saya rasa perlu adanya studi lanjutan atau penelitian untuk menjelaskan hal ini. Kiranya menjadi menarik jika ada buku tandingan untuk menambah perspektif baru mengenai Gus Dur itu sendiri. Terutama di kala Gus Dur menjabat Presiden, dari pada buku guyonan ala Gus Dur yang sudah menyebar di seantero Indonesia. Begitu pesan dari Epilog yang di tulis Wahyu Muyardi di buku Menjerat Gus Dur.



[1] Asvi Warman Adam. Melawan Lupa, Menepis Stigma setelah prahara 1965. (Jakarta; Kompas, 2015). Hal. 3

Share:

Jumat, Oktober 5

Menjawab tantangan Literasi


Majalah dari lembaga pers mahasiswa (LPM) Dedikasi, yang kebetulan bertema “membaca budaya literasi hari ini”. Menurut saya majalah ini sangat tepat, dikala masih kurangnya buku-buku atau literatur  yang membahas apa itu leterasi. Terlepas dari itu, majalah ini juga dapat dijadikan sebuah refarensi bagi saya atau teman-teman yang mendiskusiakan literasi.
Kebetulan juga besok (24/07/2018) di daku sebagai pemantik diskusi mengenai literasi. Saya pun langsung berpandangan pada majalah LPM Dedikasi untuk mencari bahan-bahannya. Selain itu sehari sebelumnya, saya mencoba menyebarkan status di Whatshap (W.A), bertuliskan “apa itu literasi?” dari beberapa kontak saya di W.A sebanyak 5 orang yang telah menjawabnya.
Dari 5 orang tersebut, 2 orang menjawab literasi itu melek baca dan tulis. Ada juga yang menjelaskan, literasi adalah bagian dari pemahaman menganai hal-hal visual (gambar dan vidio). Ada juga yang memahami literasi itu menarik kesimpulan pemahaman dari sebuah bacaan. lalu diaplikasikannya sesuai masalah keseharian manusia. Namun, ada teman kontak saya yang nyeleneh. Baginya literasi itu membingungkan. Kita bisa memahami banyak teori dari sebuah bacaan. Tapi kita juga di jauhkan dari sebuah pengalaman hidup yang nyata. Baginya tidak ada sinkronisasi antara teori dan realita.
Itu tadi adalah sebuah penelitian kecil yang saya lakukan melalui media W.A. terlepas dari itu semua, saya juga mencari jawaban tentang “apa itu literasi?” melalui majalah dari LPM Dedikasi. Pada halaman 6 dijelaskan literasi ialah suatu keadaan menambah wawasan, kemampuan dan keterampilan sehingga kita dapat brpikir kritis, memecahkan masalah secara konteknya, berbicara secara efektif dan mampu mengembangkan potensi di ranah sosial. Sedangkan National Institute For Literacy memaknai literasi lebih dinamis, yaitu mendefiniskan literasi tergantung sesuai keterampilan dan kebutuhan dalam lingkungan tertentu.
Literasi sendiri sebenarnya bukan budaya Indonesia. Sehingga menanamkan budaya literasi perlu kerja keras. Kontelasi literasi sendiri hadir dari belahan negara-negara yang dianggap Barat dan merupkan dampak era modern ala Barat (Ben Egger, 2009). Indonesia sendiri terpengaruh dari peradaban yang dianggap Barat tersebut. Baginya orang-orang yang menekuni literasi lebih unggul dari yang tidak, ini begitu mengena di Indonesia. Karena sebelumnya Indonesia sendiri lebih memilih budaya lisan  atau tutur untuk memahami keterampilan dan wawasan suatu pengetahuan, bukan kegiatan baca dan tulis. Namun saya lebih senang literasi mengkombinasikan ketiga hal tersebut. Yaitu, membaca, menulis dan lisan (diskusi).
Terlepas dari perdebatan di atas, tulisan ini lebih terfokus apa itu literasi? literasi sendiri menurut saya ialah suatu keadaan menambah ilmu pengetahuan untuk bertindak kritis. Semua ini dilatarbelakangi jika seseorang tersebut membaca, menulis dan berdiskusi dalam kehidupannya. Sehingga kemampuan ini saling mempunyai benang merah. Meskipun ketiga hal ini juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mari kita bahas satu persatu.
Membaca.
Nabi Muhammad menerima wahyu pertama kali yaitu Iqro’ yang diartikan membaca. Dewasa ini, arti membaca semakin berkembang. Ada salah satu profesor, Iqro tidak diartikan kegiatan membaca, melainkan meng-kritisi dan atau meneliti. Perintah membaca ini menjadi legitimasi bagi umatnya, bahwasannya membaca itu penting. Maka dari itu gerakan membaca diberbagai kalangan sekarang begitu masif digerakan entah itu anak, remaja, dewasa dan lansia.
Prosesi membaca ini membantu kita menambah cakrawala kehidupan, pengetahuan dan segalanya. Sebab semua akan ada jika kita mau membaca. Membaca juga menjadi alternatif menumbuhkan rasa empati di dalam diri kita. Menjadikan kita memahami pola logika yang bermain di setiap tulisan. Serta menjadikan terolahnya kata-kata ketika kita berbicara.
Buku sebagai sumber utama membaca berasal bukan dari kertas seperti saat ini. Dahulu kala buku tertulis di batu (prasasti), daun atau kulit domba yang begitu keras. Setelah kemajuan zaman kertas telah ditemukan oleh Cai Lun berasal dari Cina pada tahun 105 M. Saat itulah tulisan tercipta dalam bentuk buku sampai saat ini.
Seiring zaman semakin maju, penemuan mesin cetak oleh Johanes Guttenberg pada tahun 1450 membawa dampak penyebaran buku semakin banyak dan marak. Abad 15 di Barat eklusivitas ilmu pengetahuan masih dimiliki oleh otoritas elit, kalangan agamawan dan para penguasa. Sejak terciptanya mesin cetak ini eklusivitas tersebut telah roboh. Sejak saat itu ilmu pengetahuan semakin banyak dikonsumsi dari berbagai macam kalangan.
Malah saat ini buku sudah beredar secara Elektronik (E-Book). Meskipun kemunculan E-Book memudahkan kita untuk membaca diberbagai tempat tanpa harus membawa buku nyata yang terlihat berat. Di sini tetaplah tergantung para pembaca. Kata Dee Lestari kita tidak bisa serta merta menghakimi seseorang, karena setiap orang begitu unik. Ada sebagian yang suka secara E-Book dan ada juga lebih senang buku real.
Terlepas dari pemilihan E-Book atau buku secara real. Di sini bagi saya membaca tetaplah penting dalam khazanah pijakan awal literasi. Dengan membaca kita bisa memahami berbagai macam sudut pandang dari argumen penulis. Selain itu, bisa juga kita mengkritisi teori satu menggunakan analisa dari hasil bacaan kita. Sehingga kita dapat menuliskan argumen yang kita tempukan mejadi satu dan mendiskusikannya di depan publik secara runtut.
Menulis
Menulis adalah kegiatan penting. Sejak awal kita sekolah pasti akan diajari oleh guru kita tentang simbol-simbol. Simbol ini seperti huruf dan angka. Huruf dan angka adalah modal kita bisa merangkai tulisan. Entah ini nanti dalam bentuk artikel, opini, sastra dan lain-lain. Menulis juga dapat menjadikan rekam jejak kehidupan manusia dan berkomunikasi.
Maka dari itu menjadi penulis itu berat. Sebab butuh telaah dari bacaan begitu banyak. Selain itu kita juga harus dituntut untuk berargumen secara runtut, menggunakan logika yang tepat, bekreasi dengan penuh inovatif, bertindak kritis dan memunculkan hal baru dalam tulisan kita. Tapi bisa saja menulis itu mudah, Jika kita masih berlatih. Karena latihan dalam menulis tidak usah memperkarakan sesuatu yang berat. Namun Lambat laun kita akan menyadarinya sendiri bahwa menulis itu berat.
Menjadi seorang penulis juga harus konsisten dan ajeg. Konsisten dan ajeg ini kita bisa meluangkan waktu untuk terus melatih atau mengasah kemampuan kita dalam menulis. Disinilah yang menjadikan seseorang kuwalahan, sebab terkadang kita masih terkungkung dengan rutinitas sehari-hari.
Lisan (berdiskusi)
Lisan saya artikan sebagai diskusi. Karena menurut saya untuk mengencangkan sebuah ilmu pengetahuan yang kita serap melalui sebuah bacaan, hanya berada di diskusi. Entah nanti diskusi ini bisa dimaknai ngobrol bareng di warung kopi, atau diskusi secara formal ada pemantik, pendengar dan moderator.
Berdiskusi di sini kita bisa menumpukan dari berbagai macam bacaan antar orang satu dengan orang lain. Dengan begitu kita bisa mengukur batas kemampuan diri kita. Bisa mengukur bacaan kita. Serta dapat memahami perspektif orang lain.
Berdiskusi dapat mengetahui isi dari ekpresi kita ketika menyampaikan sebuah argumen. Bukan hanya kita, melainkan semua yang kita hadapi. Seperti ekpresi lawan bicara kita. Dengan begitu kita dapat mengetahui otoritas keseriusan dalam berargumen.
Keterhubungan ketiga hal ini Anderson (1972) menjelaskan berbicara (diskusi) dan menulis merupakan proses penyandian. Sedangkan membaca adalah suatu proses pembacaan sandi. Yaitu menghubungkan suatu makna antar kalimat yang tertulis dengan makna dalam bahasa lisan (berdiskusi). Maka dari itu membaca begitu penting karena berhubungan erat dengan menambah informasi. Menulis dan lisan (berdiskusi) ini berhubungan erat dalam memahami ekpresi, mengutarakan makna, membentuk opini dan mengemukakan pendapat.  Namun, siapa kira manusia dapat berargumen secara lisan (diskusi) dan menulis jika tidak dibarengi dengan banyak membaca?
Adanya ketiga hal ini menjadikan literasi itu bermakna. Literasi akan menjadi maju ketika semua dapat terkombinasikan secara runtut. Maka dari itu menanamkan pemahaman literasi pada generasi emas saat ini begitu penting. menanamkan literasi pada zaman “Now", menjawab tantangan berliterasi pada waktu saat ini juga. Apalagi sekarang ini dihadapkan dengan gawai yang semakin hari semakin canggih dan media penyebar “hoax”. Inilah tantangan saat ini.

Share:

Sabtu, April 1

Karancuan kata

aku tahu belum tentu aku sadar, aku sadar pastilah aku tahu
Perkuliahan praktikum spiritual yang ada pada semester empat ini menumbuhkan rasa intelektual dalam ranah kehidupanku. Penjelasan yang sangat rinci, jelas, padat, serta pemilihan kata yang logis, diksi yang tepat dan terus bisa diingat dalam diri ku. Mungkin ini juga di picu dari seorang dosennya yang saya kira benar-benar berkompetan pada mata kuliah ini.
Share:

Jumat, Juni 17

Positivisme

Dalam filsafat ada aliran yang bernama positivisme, positivisme berasal dari kata positive, di sini bukan berarti kebalikan dari negative. Tetapi positive yang berarti diketahui, faktual dan menyampingkan segala hal di luar fakta serta menolak metafisika. Posivisme adalah kealanjutan dari empirisme. Positivisme membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan. Aliran ini menyatakan bahwa ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak metafisika. (Rizal Mutasyir dan Misnal Munir, 2010). Jadi, semakin keterbelakang metafisika semakin ditiadakan atau semakin empiris.
Positivisme hadir, berkembang dan tumbuh di Prancis dalam konteks atau merespon atas terjadinya rovolusi Prancis abad 19. Dimana politik saat itu Saling menggulingkan dimulai dari sistem monarki, demokrasi dll. Ilmuan saat itu di anggap konservatif (kolod) dalam memahami sejarah masa lalu itu lebih baik. Maksudnya, semua ilmuan saat itu ingin kembali ke masa lalu dan sikap konservatif itulah yang menjangkiti kepala manusia pada zaman itu. Semangat mengembalikan masa lalu bisa juga disebut orang yang anti rovolusi. Karena mereka menganggap orang-orang yang ingin melakukan revolusi ialah ekspresi atau orang-orang yang tidak memahami “hukum sosial”. Karena tokoh saat itu sangat terpengaruh sekali dengan teori evolusinya Darwin. Salah satu tokohnya Claude Saint Simon. Dia mempunyai seketaris sekaligus murid yang bernama August Comte.
August Comte inilah yang melopori aliran positivime, baginya positivisme ialah cara pandang dalam memandang dunia berdasarkan saint. August comte juga menganggap “hukum sosial” yang terjadi saat itu belum ada ilmunya. Maka dari itu, August Comte melahirkan ilmu sosial atau fisika sosail yang sekarang terkenal dengan Sosiologi. Dalam rangka menyelesaikan problem sosial saat itu. Dengan cara saintifikasi, dengan menganggap objek ilmu alam diganti dengan objek masayarakat dan metodenya menggunakan observasi.
August Comte juga terpengaruh oleh teorinya Darwin. Karena Agust Comte juga mempercayai evolusi. Sebagai contoh  di dalam buku atau karyanya yang berjudul “Cause of Positife Philosophy”.  Karyanya ini terdiri dari enam jilid dan di bagi dalam dua tema besar.
Pertama, The Law of Theree Stage (hukum tiga tahap), menurutnya masyarakat (Eropa) berkembang secara linier (evolusi) dari tahap satu ke tahap lainnya. Masyarakat (Eropa) akan mencari suatu tahap perkembangan yang lebih baik sampai terbaik. Masyarakat (Eropa) tidak akan tinggal di suatu tahap saja, masyarakat akan terus bergerak menuju tahap puncak. Dalam hukum tiga tahap yaitu:
1.    Tahap teologis.
Pada kebutuhan ini manusia membutuhkan jawaban yang absolut, maka dari itu pada tahap ini manusia membutuhkan sandaran (tuhan) untuk memperoleh jawabannya.
2.    Tahap metafisika
Dalam tahap ini manusia mulai menggunakan rasio dalam mencapai sesuatu yang diinginkannya. Tahapan ini juga sebagai tahap transisi dari teologis menuju ke positivisme.
3.    Tahap positivisme
Tahapan ini sudah menggunakan penelitian-penelitian sehingga segala sesuatu dapat di ilmiahkan. Jadi, manusia yang sudah mencapai tahapan ini akan mencari sesuatu dengan pembuktian dari persoalan yang dihadapinya.
Kedua,  The Law of Clasification of Science (hukum klasifikasi ilmu sains), bagi August Comte ilmu juga dapat di kalsifikasikan. Pendapatnya mengenai ini, yaitu datangnya ilmu matematika. Ilmu ini bersifat pasti dan general. Semua ilmu pasti menggunakan matematika sebagai analisis dengan metode observasi, dari astronomi, fisika, kimia dan biologi. Maka dari itu August Comte juga membuat ilmu sosial (sosiologi) dengan menggunakan analisis matematika dengan metode observasi. Jadi, menurutnya semua ilmu harus diwujudkan dengan observasi dan matematika sebagai analisisnya.
August Comte juga berpendapat tahap perkembangan (pikiran) memiliki relasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Seperti halnya perkembangan sains memiliki hubungan dengan encyclopedic (tatanan yang berurutan). Di sini juga cukup jelas kalau August Comte juga terpengaruh oleh teori evolusinya Darwin. Dengan adanya tahapan-tahapan yang ada di karya besarnya sampai terdiri enam jilid tersebut.
Pada tahap-tahapan yang sudah dipaparkan di atas, August Comte menganggap bersifat universal atau nisbi. Maksudnya keniscayaan terhadap semua manusia di dunia ini. Jadi August Comte menganggap semua manusia akan mengalami sejarah seperti halnya masyarakat (Eropa) yang dia teliti. Maka manusia akan mengkiblat pada masyarakat (Eropa) yang sudah mengalami tahapan atau ideologi positivstik terlebih dahulu. Padahal di seluruh dunia sejarahnya tidak sama seperti halnya masyarakat (Eropa) yang diteliti August Comte.

*Hasil dari pelatihan epistemologi pada tanggal 24 April 16
Share:

Minggu, Mei 15

psikologi sufistik "peran tasawuf dalam era modern"

A.     Sufisme di Tengah Modernitas
Masyarakat modern di dalam Kamus Umum Besar Indonesia terdiri dari dua kata yaitu masyarakat dan modern. Masyarakat yaitu sosialisasi dalam kehidupan manusia dan modern yaitu kehidupan yang terbaru dan muthakir.[1] Jadi secara secara harfiah masyarakat modern yaitu masyarakat yang bersosialisasi antar individu dengan menggunakan suatu hal yang terbaru dan muthakir seperti contohnya tekhnologi.
Menurut Prof DR. Simuh di dalam buku Tasawuf dan Krisis, Masyarakat modern tumbuh dari pengembangan kebudayaan Yunani Purba. Kebudayaan Yunani Purba memang punya dasar pikiran yang rasional dan ilmiah. Yang kemudian diolah dan dikembangkan oleh orang Eropa menjadi canggih dan melahirkan kebudayaan barat yang modern. Kebudayaan Yunani purba yang puncaknya ajaran filsafat rasional menyebar ke timur Tengah lantaran pengembangan dan penaklukan raja Alexander yang Agung. Tujuan penakluk Alexander adalah untuk meluaskan pengaruh budaya Yunani yang berwatak dinamis itu dan memadukannya dengan kebudayaan timur.[2]
Prof DR. Simuh dalam tulisannya yang terdapat di buku itu juga menegaskan bawasannya profil masyarakat modern adalah masyarakat dengan budaya industri atau sering di sebut kebudayaan modern. Yaitu masyarakat yang mengembangkan cara berpikir ilmiah. Maka dari itu yang dapat berperan dan dapat berbicara dalam masyarakat yang berbudaya modern itu nantinya, adalah orang-orang yang mampu menguasai cara berpikir rasional. Orang yang gagal mengembangkan berpikir rasional akan berakibat dipinggirkan dalam dunia modern.[3]
Masyarakat Modern sering di golongkan sebagai the past industrial society, yaitu suatu Masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran hidup material yang sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba mekanik. Namun Masyarakat Modern bukan semakin mendekati kebahagiaan hidup namun justru sering kali di hinggapi rasa cemas, tidak percaya diri dan krisis moral akibat mewahnya gaya hidup yang materialistis.[4]
Modernitas di samping menjadi frame yang dapat memberikan harapan baru bagi masa depan sejarah manusia, juga telah melengkapi kehidupan manusia sebagai elemen yang utuh yang terdiri dari dimensi material dan spritual, salah satu cara dalam pencarian dimensi spritual dalam islam dapat di temukan melalui tasawuf. Dalam kehidupan sekarang ini di tengah situasi yang cenderung mengarah kebobrokan moral, pupusnya rasa percaya diri, mengeringnya rasa persatuan dan persaudaraan, kasih sayang, tolong menolong dan sebagainya taswuf mulai mendapat perhatian serius dan di tuntut perannya untuk mengatasi masalah yang di hadapi umat.[5]
Menurut Fazlur Rahman “Neo Sufisme” adalah sufisme yang telah di perbarui (reformed sufism). Tasawuf baru (neo sufism) mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian yang mendekati tuhan. Rahman menyimpulkan gejala yang dapat di sebut sebagai neo sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Sementara Nurcholish mengatakan bahwa “sufisme Baru” menekankan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat dari pada “ sufisme lama”. Nurcholish menyimpulkan bahwa sufisme mengharuskan praktek dan pengamalannya tetap dalam kontrol lingkungan kitab suci dan sunah, artinya para sufisme tidak mengisolisir diri dari kehidupan dunia namun perlu terlibat aktif dalam masyarakat.[6] Ketika dilihat dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bawasannya, tasawuf baru (neo sufisme) disini ialah seseorang sufi yang dapat menyeimbangkan keduanya antara mendekatkan diri kepada tuhan dan juga ikut terlibat dalam masyarakat secara kuat dengan kontrol kitab suci dan sunah.
Tasawuf muncul ketika umat islam sedang mengalami puncak kejayaanya. Rasionalisme (filsafat) dan formalisme (fikih) berkembang pesat di kalangan umat islam pada masa Dinasti Abasiyyah yang tanpa disadari ternyata menjadikan umat islam terjebak dalam sikap rasionalistik dan matrealistik serta mengesampingkan aspek rohaninya. Dengan muncul dan berkembangnya tasawuf justru menyelematkan umat islam dari proses rasionalisasi dan kehidupan matrealistik yang mengikis habis dan mendangkalkan serta mengeringkan kehidupan ruhani. Kondisi umat yang cenderung mengalami penurunan moral ditengah modernitas, akibat dari keringnya nilai nilai ruhani sehingga seringkali kehilangan pegangan, dan dengan berkembangnya arus modernisasi di segala aspek ini menghasilkan proses liberalisasi dan  rasionlisasi yang secara konsisten melakukan pendangkalan spritualitas umat. akibatnya agama secara perlahan akan kehilangan nilai kesakralan dan spritualitasnya, padahal keduanya merupakan karakteristik yang tidak dapat di pisahkan.[7]

B.     Peran tasawuf pada masyarakat modern.
 Tasawuf pada masyarakat modern ini, sangat berbeda sekali dengan keadaan atau awal mula datangnya tasawuf. Tasawuf pada awalnya diidentikan dengan kehidupan individualistik. Kehidupan semacam ini juga tidak dapat di salahkan. Karena tujuan utama munculnya tasawuf sebagai respons dan protes atas kejahatan, jiwa, sosial dan kultur politik pada zamannya dahulu. Namun, sekarang tasawuf berkembang sangat pesat, bahkan banyak ajaran-ajaran dan pesan moral yang ada dalam kajian tasawuf tidak hanya menarik dikaji secara ilmiah namun juga diamalkan secara terorganisasi.[8] Kami kira cukup jelas sekarang tasawuf bukan hanya kegiatan yang bersifat pribadi (individualistik) namun juga bersifat terorganisasi.
 Sebelum merembet ke peran tasawuf pada masyarakat modern, kami akan memperjelas dahulu peran tasawuf dalam sejarah islam. Disini Nasr seorang tokoh pembaharu pemikiran islam berpandangan bawasannya tasawuf bukan penyebab kemunduran umat islam. Karena tasawuf tidak bisa dijadikan “kambing hitam” atas segala masalah yang dihadapi umat islam. Kemunduran umat islam, kata Nasr, terjadi ketika disebabkannya penghancuran tarekat-tarekat sufi oleh bentuk-bentuk baru rasionalisme puritan. Seperti Wahabi dan Alh Hadis di India.[9] Nasr  sangat berpikir positif sekali dengan pandangannya mengenai tasawuf tidak seperti tokoh pembaharu yang lain yang menganggap tasawuf sebagai kemunduran umat islam. Jadi, dari segi sejarah islam, tasawuf disini menurut Nasr sangat mempunyai peran yang sangat besar.
Ajaran Tasawuf juga penting sekali untuk menjadikan sebuah alternatif pada masyarakat modern di ranah kespiritualitasannya. Menurut Nasr ada beberapa aspek penting peranan tasawuf pada masyarakat modern, yaitu turut berbagi peran dalam menyelamatkan dari kehilangan nilai-nilai kesepiritualitasannya, memahamkan atau memperkenalkan literatur batiniah dan memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek batiniah dalam bertasawuf adalah jantung ajarannya. Maka dari itu tasawuf perlu disosialisasikan pada masyarakat modern.[10]
Peranan tasawuf pada masyarakat modern sangat banyak sekali. seperti penjelasannya Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, bawasannya tasawuf bisa mengahadapi beberapa hal yang mengganggu jiwa pada masyarakat modern yaitu rasa cemas, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatis. Disini tasawuf bisa berperan sebagai alternatif terapi. dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. sekaligus ditekankan pada aspek spiritual yakni tasawuf dan akhlaknya. Karena setiap manusia ingin sembuh dari berbagai penyakit dari segi rohaniah maupun jasmaniah.[11]
Kehadiran tasawuf sangat menjadi peran yang tepat pada masyarakat modern, karena tasawuf memilki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlukan bagi realisasi kerohanian yang luhur, bersistem dan tetap dalam koridor syariah. Jadi peranan tasawuf ini sangat banyak. Karena dapat berperan menjadi terapi gangguan jiwa yang dilalui dengan pendekatan psikologi dan spiritualnya.[12]



[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm 636.
[2]Abdul Muhaya, dkk. Tsawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 3
[3] Abdul Muhaya, dkk. Tsawuf dan....., hlm. 11
[4] Syamsun Ni’am, tasawuf studies,(Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2014), hlm 204
[5] Syamsun Ni’am, tasawuf studies,hlm 207
[6]Ali maksum, tasawuf sebagai pembebasan manusia modern, (Surabaya : Pustaka pelajar, 2003), hlm 113-114
[7] Syamsun Ni’am, tasawuf studies, hlm 208
[8] Syamsun Ni’am, tasawuf studies, hlm 214
[9] Ali maksum, tasawuf sebagai pembebasan, hlm. 104
[10] Ali maksum, tasawuf sebagai pembebasan, hlm. 116-117
[11] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013) hlm. 96
[12] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak, hlm. 100
Share:

Rabu, Maret 16

LEARDERSHIP

Sebagai mahasiswa seharusnya sudah mencapai dalam tingkatan aktualisasi diri dalam teori hierarki kebutuhannya Abraham Maslow yaitu tokoh yang bermadzab Humanis dalam ranah Psikologi.  Di dalam teorinya terdapat lima macam hierarki kebutuhan. Salah satunya hirarki yang ke lima yaitu aktualisasi diri.
 Menurut Maslow aktualisasi diri yaitu sesuatu yang sudah tidak diperlukannya keseimbangan dalam kehidupan. Tetapi memerlukan keinginan secara terus menerus untuk memenuhi potensi dalam dirinya. Jadi disini seseorang mahasiswa selalu berkeinginan menonjolkan sesuatu yang ada dalam dirinya agar memenuhi potensi yang dia inginkan. Salah satunya yaitu sikap menjadi pemimpin suatu organisasi, kelas, lingkungan sekitarnya maupun dirinya sendiri.
seseorang mahasiswa seharusnya mempunyai sifat pemimpin dalam pergelutan di dalam kampus, dalam menentukan suatu arahan dalam dirinya sendiri. Karena setiap individu harus mempunyai sifat ini. Bayangkan jika seseorang tak mempunyai jiwa pemimpin dirinya sendiri pasti seseorang itu akan mengikut saja tak punya arahan. bahkan mau memutuskan sesuatu dalam dirinya sendiri dia akan kebingungan. bukan hanya mahasiswa saja disini, tapi untuk khalayak umum juga harus mempunyai jiwa pemimpin dalam masyarakatnya dan dirinya sendiri.
Pemimpin adalah seseorang yang dapat memengaruhi suatu organisasi maupun dirinya untuk berbuat sesuatu seperti pekerjaan, sekolah, belajar lebih giat, masuk perkuliahan, aktif dalam perkuliahan, mengikuti diskusi dsb. Maka dari itu jiwa pemimpin itu tidak harus dalam organisasi saja tetapi juga dalam dirinya sendiri untuk menentukan suatu arahan keputusan yang akan di ambil nantinya atau pendek katanya memengaruhi dirinya untuk berbuat suatu hal. Tapi dalam tulisan ini akan saya tekankan pemimpin dalam sebuah organisasi. Karena saya yakin dalam diri seseorang sudah dapat memutuskan sesuatu atau memengaruhi dalam dirinya sendiri, tapi belum tentu seseorang yang dapat memengaruhi dirinya sendiri dapat memengaruhi sebuah perkumpulan suatu masyarakat atau oragnisasi.
 Pemimpin dalam sebuah organisasi itu bukanlah sesuatu yang anda lakukan untuk orang lain, melainkan sesuatu yang anda lakukan bersama-sama orang lain dalam organisasi itu. Jadi, dalam melakukan sesuatu hal seorang pemimpin itu juga harus melakukan bersama-sama dalam suatu pekerjaan yang dilakukannya bersama anggotanya. Istilah lainnya untuk masyarakat negara Indonesia yang bisa di bilang majmuk berbagai Ragam Suku, Adat, Ras dan Agama (SARA) ini yaitu gotong royong. Seseorang yang menjadi pemimpin suatu organisasi juga harus ikut terjun langsung ke dalam pelaksanaannya yang sudah di agendakan dalam organisasi itu.
Disaat saya mengikuti sebuah seminar yang dibawakan oleh bapak Agus Maimun Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dari UIN Maliki Malang. Terdapat kata kunci dalam memimpin suatu organisasi, yaitu mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, dan memaksa. Memaksa diperlukan karena disini dibutuhkan kejelasan dan ketegasan dalam melakukan suatu tugas. Jika seorang pemimpin melakukan kata kunci tersebut akan berakibat merasakan kebersamaan, kecintaan, penuh keikhlasan dalam menjalani suatu proyek pekerjaan, kesadaran dalam setiap individu dan berorientasi pada kegiatan profesional apalagi juga disertai memohon petunjuk kepada Tuhan yang Maha Esa.
Posisi seorang pemimpin itu dimana-mana. saya mengingat ketika saya kecil guru saya menerangkan semboyan pada pendidikan yang dipakai oleh seorang tokoh Nasional Ki Hajar Dewantoro, yaitu ing ngarso sung tulodho, pemimipin bisa dibelakang untuk mendorong sebuah organisasinya, ing madya mangun karso ditengah-tengah memberi semangat dan tut wuri handayani di depan memberi contoh begitulah posisi pemimpin.

Pemimpin itu tidak dibutuhkan sebuah gen atau keturunan dari siapa dia berasal, karena setiap individu berhak menjadi pemimpin dirinya sendiri bahkan dalam sebuah organisasi. Tapi seorang pemimpin harus mempunyai karateristik perilaku individu yang sudah digambarkan oleh pak Agus. Yaitu, memiliki kecerdasan cukup tinggi dalam membangun sebuah organisasi, memiliki kecakapan berkomunikasi, emosi terkendali, memiliki motivasi berprestasi, memiliki kepercayaan diri dan memiliki ambisi. Di sini seorang mahasiswa haruslah memenuhi potensinya agar tercapaainya aktualisasi diri. Dengan salah satunya sifat menjadi pemimpin organisasi dalam kampus maupun masyarakat umumnya dengan cara-cara di atas tadi.
Share:

Selasa, Maret 1

Pelangi agama

Pelangi-pelangi.
alangkah indahmu.
Merah, kuning, hiaju, di  langit yang biru.
Pelukismu agung, siapa gerangan?
Pelangi-pelangi ciptaan tuhan.
Terbayang pada masa-masa kecil di saat masih diajarkan bernyanyi oleh bapak-ibu guru di sekolah. Waktu itu sibuk menerka-nerka nada yang diberikan oleh sang guru, untuk menirukan nyanyiannya sehingga dapat  ditampilkan di depan kelas, guna  mendapatkan sebuah nilai yang layak diberikan kepada orang tuanya. Meski masa-masa kecil terlihat malu untuk maju ke depan kelas dan belum mengerti arti sebuah nilai yang akan diberikan oleh orang tuanya. Namun pada saat itu ada seorang guru yang menyemangati itu semua untuk memotivasinya, sehingga anak kecil itu tidak malu lagi bernyanyi di depan kelas. salah satu nyanyian yang di nyanyikannya adalah lagu ciptaan dari Masagus Abdullah Mahmud atau sering di kenal dengan A. T . Mahmud yang salah satu lagunya berjudul “pelangi”[1], yang sudah di nyanyikan di awal artikel ini. Mungkin di masa kecil menikmati itu lebih asik dari pada mengamati, walaupun seorang guru sudah memberikan stimulus kepada muridnya mengenai lagu-lagu yang diajarkannya.
Pelangi adalah suatu keadaan ketika cahaya matahari mengenai tetesan air yang pada akhirnya membias lalu membentuk sebuah warna yang sejajar seperti merah, kuning, hijau, ungu, jingga, pink dan lain sebagainya. Begitulah pelajaran waktu SMA yang dipelajari oleh siswa-siswi sekarang. Mungkin di masa kecil belum bisa diketahui dengan seperinci itu, karena masa kecil adalah masa bahagia yang menganggap pelangi hanyalah sebuah dongen yang katanya di ujung pelangi ada sebuah harta karun, lalu harta karun itu memancarkan sinarnya ke harta karun yang lain, sehingga membentuk sejajar. selain itu, juga ada yang menganggap pelangi adalah sebuah lagu untuk dinyanyikan di depan kelas. namun ketika beranjak dewasa pelangi dapat berfilosofi yang lain. seperti halnya agama. Seperti contohnya agama di nagara Indonesia yang sangat beragam yang sudah disahkan oleh pemerintah, dari agama Hindu, Budha, Islam, Kristen protestan maupun katolik dan kong hu chu. Bukan hanya itu saja, tapi juga ada budaya, ras, adat istiadat juga bercorak warna warni di nagara ini. Semua di negara ini tetap bisa saling berdampingan satu sama lainnya. Seperti pelangi yang bercorak warna warni juga dapat disejajarkan dan saling berdampingan dari warna satu ke warna yang lainnya.
Mengingat masa perjuangan, pada negara Indonesi yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 - atas nama bangsa Indonesia – Soekarno dan Moh Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah negara yang melindungi dan mengakui keragaman budaya, tradisi dan keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.[2] Di sini para pendiri bangsa sadar bahwa pada pancasila tidak ada yang bertentangan dengan masalah agama di negara Indonesia khususnya pada sila pertama. Malah pada sila pertama memperlihatkan keragaman bangsa ini dalam memperoleh agama. Mereka sebagai pemimpin bangsa yang juga merumuskan pancasila sangat mengayomi semua kepentingan dalam beragama, kayakinan, budaya dan tradisi agama.[3]
Membicarakan soal agama bisa di lihat dari berbagai macam hal yang sangat luas, agama bagaikan suatu keyakinan yang di anut oleh para penganutnya masing-masing. Banyak yang mendefinisikan apa itu agama, mungkin banyak pula yang menganggap agama itu adalah suatu keadaan ketika seseorang yang percaya dengan tuhannya atau dewanya untuk di sembah demi kehidupan supranatural atau kehidupan diakhiratnya kelak.[4] Agama juga tak luput dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh teoritikus sekaligus komentar mereka mengenai agama, seperti halnya Freud yang memandang agama dari psikologis manusia, Kalr Marx yang menganggap agama adalah candu dan masih banyak lagi.
Mengenai penelitian sekaligus komentar agama yang telah di usung oleh para tokoh, seperti halnya Kalr Mark pendiri atau pencetus paham komunisme bersama sahabatnya Agels. Di sini teori Marx tentang komunis sangat totalitas juga banyak sekali dan agama hanya sebagian dari pemikirannya. Menurutnya agama adalah candu yang dapat melupakan seseorang dalam sistem perekonomian yang dikuasai kaum kapitalis. Jadi kaum proletar ini seakan sudah keasikan berfantasi melakukan ritual-ritual mengenai agama. Padahal bagi Marx mereka masih dijajah oleh kaum borjuis yang notabene menindas mereka dari segi ekonomi. Jadi agama disini hanya sebagai pelarian semata bagi kaum borjuis.[5] Ada lagi seorang tokoh yang ikut andil meneliti juga berkomentar mengenai agama. yaitu Freud, yang menganggap orang yaang beragama seperti kliennya yang terkena kasus neurotis. Menurutnya agama hanyalah halusinasi belaka karena yang di yakininya bersifat takhayul belum bisa di buktikan secara nyata. Menurutnya agama suatu pertahanan mental terhadap aspek alamiah mengenai alam.[6] Di sini Freud menandakan seseorang yang beragama memiliki sebuah gangguan jiwa seperti halnya obsesif konplusif yang bersifat kekanak-kanakan. Obsesif konplusif adalah suatu keadaan yang cenderung dilakukan secara berulang-ulang atas paksaan dari dalam diri yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam diri sesorang.[7] Begitulah segelumit keterangan dari para peneliti sekaligus komentar para teoritikus mengenai agama.
Agama di Indonesia sangat beragam dan keyakinan para penganutnya sangatlah teguh dalam mendalami agamanya masing-masing. Sehingga komentar dan penelitian yang telah di usung para tokoh tidak dapat mematahkan keteguhan para penganutnya. Karena definisi agama sangatlah banyak sekali sehingga sulit dipelajari. Pengertian agama bisa dikatakan hampir sebanyak orang yang membicarakan agama itu sendiri.[8] Begitu juga di Indonesia keragaman di dalam agama seperti pelangi yang sudah terpaparkan keterangan di atas begitu beragam dan dapat di sejaajarkan tidak saling bermusuhan satu sama lain. sebenarnya pelangi di sini menganalogikan arti penting dari pluralisme yang mendorong para penganutnya untuk bersikap toleransi, berdialog, bersahabat, bekerja sama, dan setia kawan dengan orang lain.[9] di Indonesia juga sudah di ayomi oleh pancasila pertama. Jadi warga negara Indonesia saangatlah bebas dalam memilih agama dengan apa yang diyakini oleh masyarakatnya.
Sebenarnya agama di negara Indonesia bukan hanyalah enam saja, namun lebih enam yang belum di akui di negara ini. Di sini agama yang belum di akui tetap bisa berkembang namun mereka masih mempunyai batasan-batasan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang pada kolom agama di kosongi atau di beri tanda “_”. Dalam agama yang belum diresmikan ini juga mendapat jaminan penuh oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan agama-agama ini di biarkan asal tidak mengganggu dalam hal ketentuan hukum, keamanan, ketertiban, kesehatan moral dan hak yang lainnya. Jadi di negara ini sangatlah beragam dengan soal keyakinan karena di negara ini bukan milik satu agama, ras, adat istiadat dan suku saja, tapi negara ini milik dari berbagai agama, ras, suku dan adat istiadat.



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_Totong_Mahmud di unduh 25 Januari 16 pkl. 01:13
[2] K_H_Abdurrahman_Wahid_Ilusi_Negara_Islam_Eksp(BookFi.org). pdf (SECURED) hal. 16
[3] K_H_Abdurrahman_Wahid_Ilusi_Negara,,,. Hal 17
[4] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, (IRCisoD: Jogjakarta, 2012). Hal 23
[5] Ibid hal Daniel L. Pals, Seven Theories.... Hal. 200-208
[6] Fauzan Saleh, keberadaan tuhan dan pluralisme agama, (STAIN Kediri Press: Kediri, 2011). Hal. 117
[7] Iskandar Junaidi, Anomali Jiwa cara mudah mengetahui jiwa dan perilaku tidak normal lainnya, (Cv. Andi Offset: Yogyakarta, 2012). Hal. 61-62
[8] Daniel L. Pals, Daniel L. Pals, Seven Theories,,,. Hal. 375
[9] Kata pengantar Kautsar Azhari Noer yang berjudul “ di buku Tasawuf Mendamaikan Dunia karya Media Zainul Bahri. Hal xiv
Share: